Di sebuah kota yang ramai, hiduplah sebuah keluarga kecil yang bahagia. Rumahnya amatlah besar dan megah, seindah istana. Pak Digi dan Bu Divy-lah pemilik rumah yang amat indah itu. Mereka memiliki seorang anak laki-laki bernama Wolfi. Mereka juga memiliki pembantu yang banyak. Mulai dari juru masak, tukang bersih-bersih, satpam, dan lain-lain. Keamanan dan perlengkapan rumah megah itu sama seperti istana. Pantaslah kalau Pak Digi dan Bu Divy adalah orang terkaya se-kota.
Pada suatu hari, seorang pemulung datang ke rumah Bu Divy. Setelah memunguti sampah di tempat sampah Bu Divy, dia meminta makan pada Bu Divy. Kata pemulung itu, sudah tiga hari dia tidak makan. “Bu, tolong beri saya makan, Bu. Sudah tiga hari ini saya tidak makan. Sedikit saja, yang penting ikhlas.”, kata pemulung itu.
“Coba kau jual semua hasil sampahmu itu. Kalaulah cukup untuk membeli makan, aku akan memberimu makan....”, kata Bu Divy. “Saya sudah mencobanya, Bu. Tapi tetap saja tidak cukup. Ayolah, Bu.... sedikit nasi tanpa lauk dengan segelas air putih saja sudah cukup bagi saya.”, pinta pemulung berharap.
“Disini aku dan Pak Digi disebut-sebut Raja dan Permaisurinya oleh para warga. Jadi terserah padaku mau melakukan apa padamu. Memberimu makan, minum, penghasilan, atau tidak, itu urusanku. Tidak perlu kamu menagihku....”, kata Bu Divy. “Tapi sesungguhnya Ratu disini bukanlah kau. Masih ada yang lebih tinggi derajatnya,”, kata pemulung.
“Terus mau bagaimana lagi? Kamu mau membayar, tidak?”, tanya Bu Divy. “Saya tidak punya uang, Bu. Sungguh. Saya tidak berbohong.”, kata pemulung. “Aku tidak peduli!”, seru Bu Divy tegas. “Coba periksa dompet saya. Hanya ada lima ratus rupiah saja...”, kata pemulung penuh harap.
Dan ternyata pemulung itu tidak berbohong. Hanya ada lima ratus rupiah saja di dompetnya. “Ya sudah! Cari saja orang lain yang mau membantu!”, seru Bu Divy mengusir. Pemulung itu hanya bisa menurut.
Malam harinya, pemulung yang sama menghampiri ke rumah Bu Divy. Hiffa, salah satu pembantu Pak Digi, keluar dari rumah majikannya. Lalu, pemulung itu mengatakan hal yang sama. “Tolong beri saya makan, Nak. Sudah tiga hari ini saya tidak makan. Sedikit saja, yang penting ikhlas...”, kata pemulung.
“Maaf saya tidak bisa membantu banyak, Pak. Saya hanya bisa memberikan nasi kering sisa nasi yang kemarin saya makan dan tadi siang sempat saya jemur. Tidak apa-apa, kan, Pak? Karena nanti kalau saya mengambil nasi baru dari magic jear, nanti saya dimarahi majikan saya, Pak,”, kata Hiffa.
“Tidak apa-apa, kok! Asal kau ikhlas, segalanya akan saya terima. Walau dengan jumlah yang sangat kecil, pun,", kata pemulung. "Sebentar, ya, saya ambilkan dulu.", kata Hiffa. Sang pemulung mengangguk. Hiffa lalu mengambil nasi kering yang baru saja dijemurnya tadi siang.
"Ini, Pak, hanya ini yang bisa saya berikan,", kata Hiffa. "Tidak apa-apa, Nak! Yang penting engkau ikhlas, apapun yang kau berikan saya akan senang menerimanya. Kebalikan, kalau tidak ikhlas, saya tidak mau menerimanya...", kata pemulung, lalu mengucapkan terima kasih kepada Hiffa. Hiffa lalu mengucapkan kata 'sama-sama'. Mereka pun saling berkenalan. "Terima kasih, Nak. Terima kasih banyak. Semoga Yang Maha Kuasa memberimu balasan yang setimpal,", doa pemulung. Hiffa mengangguk.
@Bu Divy: Hahaha... Nggak ikhlas sih...
BalasHapusBacanya itu Lylima, ya... bukan Lys
BalasHapus