Jumat, 18 Juni 2010

Petualangan Giselle, Peri Bersayap Satu

Giselle tinggal di negeri FairyLand, negeri para peri. Giselle termasuk salah satu peri yang tidak normal. Karena dia hanya memiliki satu sayap. Seperti yang kalian tahu, peri-peri pada umumnya memiliki sesapang sayap, yaitu dua sayap. Kalau ini hanya satu sayap. Giselle adalah peri yang sabar dan mudah putus asa.

Pada suatu hari, Giselle datang ke istana Ratu. Dia berharap Ratu bisa memberinya sepasang sayap. “Tolong beri saya sepasang sayap Ratu..., saya termasuk peri yang tidak normal disini,”, pinta Giselle. “Kau meminta sayap padaku? Ah, itu hal yang konyol! Tapi tenang saja..., kau akan mendapatkan sepasang sayap apabila menemukan mutiara-ku yang telah bertahun-tahun lamanya hilang,”, Ratu memberi syarat.

“Jadi itu, ya? Tidak masalah! Apapun akan aku lakukan demi mendapatkan sayap,”, kata Giselle pe-de. “Baiklah! Kau bisa memulai mencari mutiara itu sekarang. Batasnya adalah tiga hari. Jika kau tidak bisa menemukannya dalam waktu tidak hari, maka aku takkan memberimu sayap...”, kata Ratu. “Astaga...”, gumam Giselle.

Dia lalu segera berjalan, dan mulai mencari mutiara itu. “Kebanyakan benda-benda yang hilang di FairyLand ada di LostLand. Mungkin aku bisa mencarinya disana...”, gumam Giselle. Giselle lalu berjalan menuju ke LostLand. Sampai di LostLand, Giselle kebingungan harus memulai darimana.

Giselle berkacak pinggang. “Lebih baik aku memulainya dari sini saja,”, gumam Giselle dalam hati. Tapi, semua sudut telah diperiksa dengan teliti. Namun di semua sudut pula, mutiara Ratu yang berkilau bagai cahaya itu belum ditemukan juga. Giselle kebingungan.

Tak lama kemudian, Giselle mendapatkan sebuah ide. Bagaimana kalau aku akan mencarinya di rumah si pencuri FairyLand, Domine, pikir Giselle. Giselle lalu memutar badan, dan segera berjalan menuju negeri tempat tinggalnya. “Hei, mau kemana, kau?”, tanya seorang peri lelaki menghalangi.

“Eeee.... mmm..... boleh kita berkenalan? Namaku Giselle, dari negeri FairyLand,”, kata Giselle. “Giselle? Aku King-Lee, kau boleh memanggilku King,”, kata King. “Lee? Namamu mirip anak perempuan,”, ledek Giselle. “Hahaha.... Dan kau juga hanya memiliki satu sayap,”, balas King.

“Ya... begitulah. Dah..., aku harus pergi sekarang!”, ujar Giselle. “Mau kemana kau?”, tanya King. “Ah, sudahlah! Jangan ganggu aku! Aku mau mencari mutiara Ratu supaya aku memiliki sepasang sayap,”, kata Giselle, lagu pergi.

Dalam perjalanannya, Giselle bertemu lagi dengan seorang peri. Tapi kini, peri itu perempuan. Dia bernama Dahlia. “Hai..., mau kemana, kau?”, Dahlia mengajukan pertanyaan yang sama. “Aku mau mencari mutiara Ratu supaya aku memiliki sepasang sayap,”, Giselle menjawab.

“Aku Dahlia, peri dari LostLand. Boleh aku membantumu?”, tanya Dahlia. Giselle berpikir sejenak, lalu mengangguk mantap, “Ya! Aku mengijinkanmu!”, ujar Giselle. Dahlia lalu berjalan disamping Giselle. “Omong-omong...., siapa namamu? Apakah kau dari FairyLand?”, tanya Dahlia saat berjalan. “Aku Giselle. Aku dari FairyLand,”, kata Giselle.

Setelah agak lama berjalan, mereka pun sampai di negeri FairyLand. “Aku mau ke rumah Domine dulu, si peri pencuri di negeri-ku,”, kata Giselle. “Ok! Ide yang bagus untuk menumukan mutiara. Tapi bolehkan aku yang menyelinap masuk? Kata teman-teman, aku termasuk peri yang lincah, lho!”, pamer Dahlia.

“Siiip, aku mengandalkanmu,”, Giselle mengacungkan jempol. Buru-buru Dahlia langsung menyelinap masuk ke rumah Domine yang besar dan megah, tapi rumah itu haram. “Aku tidak menemukannya, Giselle. Maaf, sungguh,”, kata Dahlia setelah agak lama mencari.

“Astaga...., kapan lagi aku harus mencari?”, gumam Giselle.

Hari kedua, Giselle dan Dahlia memeriksa seluruh FairyLand, namun tidak juga ditemukan. Hingga akhirnya, hari ketiga pun tiba.

“Astaga...., ini benar-benar gawat!”, ujar Giselle. “Seluruh kerja keras kita tak ada hasilnya, Selle! Semua ini telah sia-sia...”, kata Dahlia. “Aku menyerah Ratu, sungguh aku menyerah,”, Giselle berbicara pada dirinya sendiri.

Giselle dan Dahlia pun pergi ke istana Ratu. “Maafkan aku Ratu, aku tak berhasil menemukannya, tapi aku mohon, beri aku sekali lagi...”, pinta Giselle penuh harap. “Aku minta maaf, nasi sudah menjadi bubur, Selle!”, kata Ratu. Ratu lalu bangkit dari kursinya.

Raut wajah Giselle terlihat amat sedih. "Saya sudah berusaha semampu saya. Tolong hargai semua pengorbanan saya, Ratu...", Giselle hampir menangis. "Aku kan sudah katakan, Giselle, nasi sudah mencadi bubur. Semuanya sudah terlambat,", kata Ratu Peri.

"Kumohon, Ratu... Hargai semua yang telah aku lakukan. Semuanya telah aku lakukan se-maximal mungkin...", pinta Giselle penuh harap. Ratu mencibir. "Iya, Ratu..., kan kasihan dia, sudah berusaha se-maximal mungkin. Semua itu perlu dihargai, bukan?", bela Dahlia.

Ratu berpikir sejenak. "Baik, baiklah. Akan kuberi waktu kau satu hari lagi. Tapi, sehari hanyalah sehari. Dan janganlah kau lakukan lebih dari itu,", kata Ratu. Giselle melotot. "Astaga,", batinnya. "Tidak apa-apa, Giselle... ini kan sebuah kesempatan,", kata Dahlia.

Giselle menggandeng tangan Dahlia, dan mengajak nya keluar dari istana. "Astaga, ini benar-benar, Lia! Keterlaluan!", seru Giselle marah. "Bersabarlah dulu, Selle... aku yakin kok, kalau kau pasti bisa menghadapinya dalam waktu yang sangat singkat. Percayalah,", kata Dahlia.

"Yah.... kau ini memang payah! Kau membela Ratu!", seru Giselle. "Selle, tenang dulu... kendalikan amarahmu....", Dahlia berusaha menenangkan. "Meski tidak tahu, meski tak terlihat, aku selalu mendukungmu, Selle! Aku bahkan berharap kau bisa menjadi teman sejatiku,", cerita Dahlia.

Giselle terkejut. "Benarkah itu?!", tanyanya, sambil menaikkan sebelah alis. "Tentu, sudah, sekarang kita istirahat dulu. Besok, kita memulai perjalanan lagi. Istirahatlah yang cukup, supaya besok tidak kecapai-an, ya,", pesan Dahlia. Giselle mengangguk.

Tapi dia tiba-tiba berkata; "Ratu menyuruh kita mencarinya besok atau hari ini?!" "Ah..., jangan dipikirkan. Nanti biar aku yang bilang,", kata Dahlia. "Oh," "Omong-omong..., boleh aku menginap disini untuk sementara waktu?", tanya Dahlia.

"Tentu. Kapan saja boleh,", Giselle memperbolehkan. Giselle dan Dahlia pun menuju ke rumah Giselle untuk beristirahat.

Namun, disaat tidur, Dahlia merasakan ada keanehan. Di punggung-nya, seperti ada benda bulat yang mengganjal. "Inikah mutiaranya?", batin Dahlia. Di tengah Giselle yang tertidur pulas, Dahlia mengambil benda itu perlahan, pelan-pelan..., supaya Giselle tidak mengetahuinya.

Dan ternyata tidak jauh diluar dugaan. Itu adalah mutiara! Mutiara itu ada di bawah sprei Giselle. Buru-buru Dahlia membangunkan Giselle. "Jadi, selama ini, kau-lah yang mutiara Ratu?", tanya Dahlia sambil menunjukkan mutiara itu kepada Giselle. "Hah? Siapa yang bilang? Itu fitnah!", seru Giselle.

"Mengakulah, Selle, mengakulah,", kata Dahlia. "Hah?! B-bukan aku Dahlia, sungguh...", kata Giselle jujur. "Tak pernah terbayang di benakku. Teman baik-ku lah yang telah mencuri mutiara Ratu,", kata Dahlia sedih. "Kau percaya denganku, tidak?!", seru Giselle.

Hari itu juga, Giselle langsung menuju ke istana. Ratu memanggil semua rakyat untuk berkumpul. "Inilah dia, Giselle, yang berhasil menenukan mutiaraku yang bertahun-tahun hilang,", kata Ratu. Semua bertepuk tangan. Tapi, tiba-tiba Dahlia datang.

"Tunggu!" semua menoleh. "Giselle-lah yang telah mencuri mutiara Ratu selama ini!", serunya. "Hah? Grrhhh!!!!", para rakyat yang awalnya bangga, kini menjadi marah. "O-ow, bukan aku Ratu, sungguh, mana mungkin aku mencuri mutiara Ratu? Aku juga tak pernah masuk ke kamar Ratu, kan?", Giselle membela diri.

Ratu berkata; "Aku percaya dengan Giselle,", katanya. "Hah?!", semuanya menoleh. "Aku yakin, bukan Giselle pencuri-nya. Melainkan Domine! Mungkin Domine telah menaruh mutiara itu dirumah Giselle, dan dia tidak mau disalahkan!", ujar Ratu membela. "Benar! Itu benar, Ratu!", seru Giselle.

"O-ow,", pipi Dahlia memerah. Akhirnya, Ratu pun menyuruh para pengawal untuk membawa Domine ke istana. Setelah di istana, akhirnya Domine pun mau mengaku. Domine pun di hukum penjara 1,5 tahun oleh Ratu.

Ratu lalu menuju ke rumah Giselle. "Untukmu, jangan suka menuduh orang, Dahlia. Dan untukmu, aku berikan mahkota ini sebagai penghargaan untukmu,", kata Ratu, lalu pergi. "Wow! Mahkota-nya indah sekali, Giselle! Sangat gemerlapan!", puji Dahlia. "Hehehe... siapa dulu?", canda Giselle.

Tak lama kemudian, dari mahkota itu, keluar cahaya-cahaya yang aneh. Lalu, cahaya itu berkumpul menjadi satu di punggung Giselle, dan, menjadi sayap. "Wow! Sekarang, cobalah!", ujar Dahlia. Giselle pun mencoba untuk terbang. "Hahaha... aku terbang! Aku terbang!", serunya girang. Dahlia pun menyusul Giselle.

"Aku minta maaf, Giselle, maafkan aku, ya yang sudah memfitnah-mu. Sekarang, aku harus pergi ke LostLand,", kata Dahlia, lalu melambaikan tangan. Giselle ikut melambai-lambai. Tak lama dari itu, Dahlia lenyap dari pandangan.

"Terima kasih, Kawan...", kata Giselle pelan, sambil terus menatapi arah menuju LostLand.

Senin, 14 Juni 2010

Dosa Menjadi Hukuman

Di sebuah desa, tinggal seorang anak laki-laki yang bernama Poffy. Rumahnya terbuat dari anyaman. Orang tuanya bekerja sebagai kuli bangunan dan penjahit kecil. Ayahnya bekerja sebagai kuli bagunan, dan Ibunya bekerja sebagai penjahit kecil yang penghasilannya pas-pasan. Begitu pula dengan Ayah Poffy, penghasilannya juga pas-pasan.

Poffy dan keluarganya termasuk golongan orang miskin. Tidak mempunyai motor, hanya dua sepeda onthel yang sudah berkarat, dan yang satunya lagi ban-nya sering sekali bocor. Mereka susah mencari makan. Kadang, sehari makan hanya sekali saja. Itu pun hanya nasi, sambal, dan kerupuk. Untuk membayar perlengkapan Poffy sekolah saja sulit. Maka dari itu, Poffy selalu menabung dan menyisihkan uang-nya.

Pada suatu hari, sekolah Poffy akan mengadakan piknik bersama. Semuanya mampu membayar. Hanya saja Poffy, dia tidak bisa mengikuti piknik bersama teman-temannya. Semuanya bangga, hanya Poffy yang merasa sedih.

"Jangan bersedih, Poff, kamu juga tahu sendiri, kan, penghasilan kita itu pas-pasan. Mencari makan dan membeli perlengkapan sekolahmu saja sudah sulit. Apalagi untuk membayar piknik, yang harus iuran sebesar Rp. 150.000,-. Itu sudah sangat sulit...”, kata Ibu suatu saat.

“Bagaimana Poffy bisa tidak sedih, Bu? Semua teman-teman sudah bercerita apa saja yang akan mereka bawa, dan semua sudah bercerita bagaimana mereka disana nanti, apa saja yang akan mereka lakukan, dan....”, Poffy menatap Ibunya. “Ini sungguh tidak mungkin, apapun yang terjadi, Ibu harus tetap usahakan,”, kata Poffy.

“Kamu sudah tahu sendiri, kan, Poff? Ibu sudah berusaha,”, kata Ibu. Poffy lalu bangkit dari kursinya, dan masuk ke dalam kamar. Dipha, adiknya, lalu masuk ke kamarnya. Kamar Dipha memang satu kamar dengan kamar Poffy. Kasur pun juga untuk bersama. Kadang, mereka juga sering tidur diatas lantai tanpa alas, bahkan karpet sekalipun.

Kasurnya juga sudah hampir rusak. Banyak kapuk-kapuk yang keluar dari kasur itu. Dipha duduk disamping Poffy. “Tenang saja, Kak, Kakak akan tetap ada temannya, kok!”, hibur Dipha. “Maksudmu kamu, kan?”, tebak Poffy. “Ya,”, kata Dipha seraya menganggukkan kepala.

Poffy mengambil cermin, lalu bercermin pada cermin itu. “Siapakah diriku sebenarnya ini? Aku tidak bukan siapa-siapa. Tapi teman-teman bilang aku bukan siapa-siapa. Aku ini orang, orang yang bertaqwa dan beriman kepada Allah SWT...”, pikir Poffy.

Poffy lalu meletakkan cerminnya, dan bertanya kepada Dipha; “Menurutmu, siapakah aku ini sebenarnya?”, begitu, tanya Poffy. “Kakak? Kakak ya orang la.... Masa’ kakak tumbuhan? Kakak benar-benar aneh!”, ujar Dipha. “Bukan begitu..., menurut Dipha, sifat Kakak dimata Dipha itu bagaimana?”

Dipha tampak sedang berpikir. “Kakak itu... bagaimana, ya?”, gumam Dipha. “Ayolah, jujur saja. Jujur.”, kata Poffy. “Ok, jujur, ya? Kalau jujur.... Kakak itu orang yang mudah putus asa, dan kurang memiliki semangat. Berangkat sekolah bersemangat, sampai disekolah, setelah diledek temannya, semangatnya selalu hilang, ya, begitu,”, jawab Dipha jujur. "Kamu jujur?", tanya Poffy. Dipha mengangguk.

Keesokan harinya....

Poffy dan Dipha berangkat sekolah dengan semangat. Mereka berangkat menaiki sepeda onthel yang berkarat. Poffy didepan, dan Dipha dibelakang. Ya, mereka berboncengan setiap berangkat dan pulang sekolah.

Sesampainya di sekolah, "Hai... Diph, selamat pagi!", sapa Dini, salah satu teman Dipha. "Pagi, Dini! Minggu depan, kamu ikut piknik, tidak?", tanya Dipha. "Pasti dong...!!! Kamu memangnya nggak ikut?", tanya Dini. "Eh..." "Udah, jujur aja sama aku. Tenang aja, nggak akan kubilangin kesiapa-siapa, kok!", kata Dini. "Begini... sebenarnya.... tidak. Orangtuaku tidak mampu membayar. Tapi jangan diejek, ya!", kata Dipha.

"Ah, enggak, kok! Lagian, ngapain ngejek teman? Itu kan, dosa. Yuk, kita ke kelas!", ajak Dini. "Yuk!", Dipha mengangguk.

Sementara itu, Poffy dengan teman-temannya yang nakal sudah menaruh tas, dan mereka segera bermain.

"Hei, Poff! Gimana, kamu jadi, nggak, ikut piknik besok minggu depan?!", tanya 'Adin setengah berseru. Poffy terdiam. "Weleh weleh.... pasti kamu nggak ikut, kan? Sudah ketahuan, lho! Dari mimik wajah kamu itu. Kamu pikir kami nggak tahu, ya?!", ujar Dodo. "Ya, kamu pikir kami nggak tahu?!", 'Adin ikut-ikutan.

Dick berseru; "Kamu itu nggak pantas sekolah disini, tau'! Lihat, tuh, kamu itu anak termiskin di sekolah! Coba tanyakan semua, punya kendaraan motor, nggak, teman-teman?!" Poffy terdiam, menahan amarah. "Iya... cuma kamu, tuh, yang nggak punya motor!", tambah Dodo. "Gggrrrhhh!!!! Akan kulaporkan kalian semua pada Pak Guru!", marah Poffy, lalu segera berjalan menuju ke ruang guru.

Hahahaha.... ketiga teman Poffy yang nakal-nakal itu malah terbahak. Terbahak mendengar ucapan Poffy. "Huh! Dasar cengeng!", ledek 'Adin. "Iya! Anak laki kok, cengeng?!", Dick menambahkan.

Sampai di ruang guru, Poffy langsung melaporkan itu pada Pak Didi, kepala sekolah Sekolah Dasar itu.

Setelah dilaporkan, Pak Didi dan Poffy langsung berjalan menghampiri anak-anak nakal itu. "Heh, kamu, kamu, kamu, sini!", seru Pak Didi. "Ada apa, Pak?", tubuh Dick mulai merinding ketakutan. "Apakah benar kalian mengejek Poffy yang tidak baik?!", seru Pak Didi.

"Eee.... tidak. Siapa yang bilang begitu?", Dodo membela diri. "Iya, Pak! Iya! Mereka mengejekku, Pak!” “Enggak, Pak! Enggak!”. Mereka saling tunjuk menunjuk, akan tetapi Pak Didi tetap mempercayai Poffy.

“Anak-anak…. dengar, ya, dosa itu bisa menjadi hukuman. Bagaimana caranya? Saat di akhirat nanti, dosa dan pahala kalian akan diperhutingkan. Lalu, kalau kalian banyak dosanya, kalian akan masuk ke neraka. Kalau kalian masuk ke neraka, banyak sekali hukuman disana. Yang paling ringan, ya, yang paling ringan, terkena api yang panasnya 10x lipat api di dunia. Serem banget? Iya, betul itu. Itu betul. Jadi, kalian mau minta maaf di dunia, atau merasakan akibatnya di akhirat nanti?”, jelas dan tanya Pak Didi.

“Maafkan kami, Poff!”, seru ‘Adin, Dodo, dan Dick serempak. “Ya, maafkan aku juga…”, kata Poffi. Tiga sekawan itu saling mengangguk.

Kamis, 10 Juni 2010

Hiffa dan Bu Divy

Di sebuah kota yang ramai, hiduplah sebuah keluarga kecil yang bahagia. Rumahnya amatlah besar dan megah, seindah istana. Pak Digi dan Bu Divy-lah pemilik rumah yang amat indah itu. Mereka memiliki seorang anak laki-laki bernama Wolfi. Mereka juga memiliki pembantu yang banyak. Mulai dari juru masak, tukang bersih-bersih, satpam, dan lain-lain. Keamanan dan perlengkapan rumah megah itu sama seperti istana. Pantaslah kalau Pak Digi dan Bu Divy adalah orang terkaya se-kota.

Pada suatu hari, seorang pemulung datang ke rumah Bu Divy. Setelah memunguti sampah di tempat sampah Bu Divy, dia meminta makan pada Bu Divy. Kata pemulung itu, sudah tiga hari dia tidak makan. “Bu, tolong beri saya makan, Bu. Sudah tiga hari ini saya tidak makan. Sedikit saja, yang penting ikhlas.”, kata pemulung itu.

“Coba kau jual semua hasil sampahmu itu. Kalaulah cukup untuk membeli makan, aku akan memberimu makan....”, kata Bu Divy. “Saya sudah mencobanya, Bu. Tapi tetap saja tidak cukup. Ayolah, Bu.... sedikit nasi tanpa lauk dengan segelas air putih saja sudah cukup bagi saya.”, pinta pemulung berharap.

“Disini aku dan Pak Digi disebut-sebut Raja dan Permaisurinya oleh para warga. Jadi terserah padaku mau melakukan apa padamu. Memberimu makan, minum, penghasilan, atau tidak, itu urusanku. Tidak perlu kamu menagihku....”, kata Bu Divy. “Tapi sesungguhnya Ratu disini bukanlah kau. Masih ada yang lebih tinggi derajatnya,”, kata pemulung.

“Terus mau bagaimana lagi? Kamu mau membayar, tidak?”, tanya Bu Divy. “Saya tidak punya uang, Bu. Sungguh. Saya tidak berbohong.”, kata pemulung. “Aku tidak peduli!”, seru Bu Divy tegas. “Coba periksa dompet saya. Hanya ada lima ratus rupiah saja...”, kata pemulung penuh harap.

Dan ternyata pemulung itu tidak berbohong. Hanya ada lima ratus rupiah saja di dompetnya. “Ya sudah! Cari saja orang lain yang mau membantu!”, seru Bu Divy mengusir. Pemulung itu hanya bisa menurut.

Malam harinya, pemulung yang sama menghampiri ke rumah Bu Divy. Hiffa, salah satu pembantu Pak Digi, keluar dari rumah majikannya. Lalu, pemulung itu mengatakan hal yang sama. “Tolong beri saya makan, Nak. Sudah tiga hari ini saya tidak makan. Sedikit saja, yang penting ikhlas...”, kata pemulung.

“Maaf saya tidak bisa membantu banyak, Pak. Saya hanya bisa memberikan nasi kering sisa nasi yang kemarin saya makan dan tadi siang sempat saya jemur. Tidak apa-apa, kan, Pak? Karena nanti kalau saya mengambil nasi baru dari magic jear, nanti saya dimarahi majikan saya, Pak,”, kata Hiffa.

“Tidak apa-apa, kok! Asal kau ikhlas, segalanya akan saya terima. Walau dengan jumlah yang sangat kecil, pun,", kata pemulung. "Sebentar, ya, saya ambilkan dulu.", kata Hiffa. Sang pemulung mengangguk. Hiffa lalu mengambil nasi kering yang baru saja dijemurnya tadi siang.


"Ini, Pak, hanya ini yang bisa saya berikan,", kata Hiffa. "Tidak apa-apa, Nak! Yang penting engkau ikhlas, apapun yang kau berikan saya akan senang menerimanya. Kebalikan, kalau tidak ikhlas, saya tidak mau menerimanya...", kata pemulung, lalu mengucapkan terima kasih kepada Hiffa. Hiffa lalu mengucapkan kata 'sama-sama'. Mereka pun saling berkenalan. "Terima kasih, Nak. Terima kasih banyak. Semoga Yang Maha Kuasa memberimu balasan yang setimpal,", doa pemulung. Hiffa mengangguk.


Hiffa lalu melangkahkan kaki menuju ke kamar tempat dia tidur. Dia berbaring diatas ranjangnya. Dan tak lama kemudian, perlahan Hiffa memejamkan mata.


Keesokan harinya....


"Siapa kau? Apa aku pernah mengenalmu?", tanya Pak Digi heran. "Hehehe.... tentu saja.", jawab Hiffa tertawa. "Ah, Bapak sungguh konyol! Masa nggak kenal, sih, sama suara-suara pembantu sendiri? Aku aja hafal....", ledek Wolfi seraya bangkit dari tempat tidurnya dan menghampiri Pak Digi dan Hiffa.


"Siapa kau ini? Apakah aku pernah mengenalmu?", Wolfi terheran-heran. "Huh! Kalian memang konyol! Aku ini Hiffa, Pak...., Fi..... apa kalian pernah mengenalku? Oh tentu saja. Masa belum tahu?", jawab Hiffa. "Hiffa, bercerminlah di kamarmu. Kau mengalami perubahan besar,", kata Pak Digi.


Hiffa lalu masuk ke kamarnya dan bercermin. "Ya... kurasa Pak Digi dan Wolfi memang tidak konyol lagi. Mereka merasa ada perubahan yang ada pada diriku. Dan ternyata, ya! Aku kini telah berubah...." pikir Hiffa. Wajahnya kini terlihat cantik seperti putri raja dan kulitnya yang berbentol-bentol digigit nyamuk kini bentolnya sudah hilang. Oh, sungguh perubahan yang besar.


Bu Divy bertanya pada Hiffa, bagaimana rahasianya wajahnya menjadi cantik secantik putri dan kulitnya menjadi halus. Hiffa menceritakan kronologisnya secara lengkap pada Bu Divy, majikannya. Akhirnya, Bu Divy pun tahu rahasia wajah Hiffa berubah.


Hari itu, pemulung yang kemarin datang, kini datang lagi. "Hiffa! Hiffa! Kemarilah, Hif! Beri aku makanan lagi,", pinta pemulung itu. Bukannya Hiffa yang keluar, melainkan Bu Divy yang keluar. Bu Divy ingin wajahnya menjadi cantik seperti Hiffa.


"Kemarilah, Bapak Pemulung, saya akan menyajikan makanan yang lezat untuk Anda.", kata Bu Divy. "Apakah kau yang kemarin itu?", tanya pemulung. "Ah, omong kosong. Kini saatnya untukmu sarapan,", sahut Bu Divy. Pemulung itu menyantap makanan itu dengan lahapnya.Tapi, walau begitu, pemulung itu tahu kalau Bu Divy hanya menginginkan wajah cantik, tapi tidak ikhlas.


"Semoga Yang Maha Kuasa memberimu balasan yang setimpal,", kata pemulung sebelum pergi meninggalkan rumah mewah itu. "Oh, terima kasih, Pak. Terima kasih banyak,", kata Bu Divy girang. Pemulung itu tersenyum sinis.


Setelah pemulung itu pergi, Bu Divy merasakan ada keanehan. Di ditubuhnya tiba-tiba ada bentol-bentol merah seperti digigit nyamuk dan wajah tidak membaik, namun memburuk. Seluruh penghuni rumah tidak mengenali Bu Divy, dan sama sekali tidak percaya kalau itu adalah Bu Divy. Termasuk Pak Digi dan Wolfi.

Rabu, 09 Juni 2010

Hari yang Buruk Atau Hari yang Baik

Hai, namaku Anita Ghianiputri. Aku biasa dipanggil Ghiani. Aku bersekolah di SD Negeri Kamboja Indah III. Sekarang, aku duduk di kelas 3 SD. Aku mempunyai seorang adik bernama Flowy. Kami sekeluarga biasanya memanggilnya Dik Flow, Flowy, atau Flow saja. Dia seorang adik yang suka mengusili kakaknya. Maklum, dulu, waktu Mama mengandung Flowy, mereka berharap memiliki anak laki-laki. Jadi.... ya, begini jadinya, perempuan yang tomboy.

Hari ini, hari ke-empat setelah ulangan kenaikan kelas. Tiga hari kemarin, kami yang tidak remidi sempat menonton film, sedang yang remidi ya ikut remidi saja. Tapi hari ini, semua siswa wajib mengikuti lomba. Entah itu lomba memukul air dengan mata tertutup, lomba tarik tambang, lomba balap karung, makan kerupuk, dan lain-lain seperti loma di Agustus-an.

Ternyata Bu Leni memilih aku yang menjadi perwakilan lomba memukul air dengan mata tertutup kelas 3 yang perempuan. Aku berharap ada hal yang luar biasa pada hariku yang biasa ini. Ya mungkin... menang lomba salah satunya.

Waktu yang dinanti-nanti pun tiba. Para perwakilan dari berbagai kelas datang ke lapangan untuk mengikuti beraneka ragam lomba. Kelas satu dan dua melawan kelas tiga. Kelas empat, lima, dan enam mengikuti lomba yang berbeda. Paling tidak yang tidak keanak-anakan.

Aku mulai menyayunkan gedebog pisang yang sudah dipotong kecil-kecil. Teman-temanku mulai menyemangati. Ada yang berseru: “Ghiani! Ghiani! Ghiani!”, apa yang berseru: “Lyna! Lyna! Lyna!”, dan ada pula yang berseru: “Maya! Maya! Maya!”. “Ayo, Yan, sedikit lagi! Maju dan....”, aku menuruti saja kata-kata Uchi. Oh ya, aku belum kenalkan pada kalian. Aku punya julukan Yan atau Ian, juga Hian. Padahal, dalam namaku tidak ada kata ‘yan’. Kalau ‘hian’ dan ‘ian’ sih.... ada. Perhatikan saja! ghIANi, ghIANi.

Kalau yang paling sering sih.... Ian. Ya! Aku memang sebal dengan teman-teman yang suka mengejekku seperti itu. Lagipula itu kan nama laki-laki. Sedangkan aku perempuan. Kebetulan juga sih, ada teman sekelasku yang bernama Ian. Dia juga suka marah kalau teman-teman mengejek-ku. Bukannya membelaku, tapi itu tuh yang namanya GR. Dia kira mereka mengejeknya.

Kembali lagi ke cerita, saat aku hampir saja memukul air, tiba-tiba salah satu temanku yang juga mengikuti lomba itu (aku tidak tahu namanya karena mataku tertutup), malah memukul kepalaku. “Auw!!!!”, jeritku. “Maaf, ya, siapa sih?”, tanyanya. Oh, aku tahu kalau yang baru saja memukul kepalaku itu Maya. Aku kenal sekali suaranya.

“Aku, Ya! Ghiani!”, ujarku. Tiba-tiba, dari sebelah kanan aku merasa ada yang memukul kepalaku lagi. “Aduh..... siapa, sih?!”, ujarku agak jengkel. “Eeee..... maaf, ya, Ghi! Nggak sengaja!”, ujar Lyna. “Ya, asalkan kamu jangan memukulku lagi.....”, kataku.

Tiba-tiba.....

PYAR!!!!!!!!

Terdengar suara seperti air jatuh. “Punya siapa itu?”, batinku dalam hati. Saat aku merasa bajuku basah kuyup, aku baru sadar, kalau akulah yang berhasil memecahkan air dengan mata tertutup yang pertama kali. Hore!!!! Aku menang. Lyna, adalah perwakilan dari kelas satu. Sedang Maya perwakilan dari kelas dua. Aku berhasil mengalahkan mereka.


Saat istirahat.....


"Wah.... selamat, ya, Ian! Kamu berhasil,", kata Uchi. "Apa? Kamu bilang aku Ian? Dengar, jangan mengejekku seperti itu ya.... Atau aku akan bilangkan ke Ian yang sebetulnya....", ujarku. "Eh, jangan, jangan. Aku nggak mau dimarahi sama Ian. Iya deh, iya. Kamu itu Ghiani. Selamat, ya, Ghiani....", ucap Uchi. "Nah...., itu baru Uchi yang sebernarnya,", candaku. Uchi dan aku tersenyum.


Tiba-tiba Yuly datang. "Selamat, ya, Ghiani.... kamu memang temanku yang baik....", katanya. "Eh, dia teman sejatiku. Kalau mau, cari sendiri.", ujar Uchi. "Terus siapa juga yang bilang Ghiani adalah teman baikku, heh?", ledek Yuly. Aku tertawa kecil. "Menurutku...., menurutku Uchi lebih baik. Tapi Yuly tidak suka mengejek-ku. Dia juga baik...", kataku.


"Eh, kamu ucapin selamat karena sudah menang atau selamat ulang tahun untuk Ghiani?", tanya Uchi. "Terima kasih kamu sudah lupa. He he he...", Uchi tidak menanggapi. "Sebenarnya... dua-duanya, sih,", jawab Yuly. Oh ya, teman-temanku malah yang ingat kalau hari ini hari ulang tahunku yang ke-10. Ini kan, tanggal 12 Juni. Ah, nggak usah bilang-bilang, ah, sama mereka kalau aku lupa ulang tahunku sendiri karena ke-girangan.


"Oh ya, nanti sore, jangan lupa datang ke rumahku, ya...", kataku. "Jam berapa? Kamu mau merayakan ultahmu, ya?", tebak Uchi. "Jam empat sore, mungkin. Biasanya seperti itu. Benar, kan, Ghi?", tanya Yuly. "Ya, kurasa begitu,", jawabku. "Sebentar, ya, teman-teman, aku mau menemui Flowy. Sebentar saja.", kataku.


Aku lalu berjalan menuju ke kelas satu. Disana, aku melihat adikku Flowy yang tomboy itu bermain. Dia bermain dengan anak laki-laki. Ya.... begini jadinya kalau berharap memiliki anak laki-laki dan yang keluar perempuan. Lalu bagaimana kalau sebaliknya? Mungkin menurutku tidak sampai segitunya. Paling tidak sifatnya tidak suka usil.


"Den, Flowy mana? Kayaknya tadi dia disini....", tanya pada Deden, salah satu teman Flowy. "Oh, sebentar, ya, Kak. Dia sedang pergi ke toilet,", jawab Deden. "Makasih, ya,", ucapku. Aku lalu pergi ke toilet. Aku tak lama menunggu Flowy. Sebentar saja, dia sudah keluar.


"Flow, kata Mama ulang tahun Kak Ghiani dirayakan jam berapa?", tanyaku. "Kata Papa tadi pagi sih.... jam empat sore. Tapi Mama titip pesan, nanti, Kak Ghiani disuruh bilang sama teman-temannya kalau datangnya ke sana jam tiga saja.", jawab Flowy. "Lho? Kenapa jam tiga? Bukannya jam tiga kakak harus les bahasa inggris?", tegurku.


Aku pun bilang pada teman-teman untuk datang ke pesta jam tiga. Beberapa jam pun berlalu. Sekarang sudah jam tiga. Aku berangkat ke tempat kursus, sedangkan para tamu mulai berdatangan. Jam empat sore, aku pulang dari tempat lesku. Sesampainya di rumah, aku sangat kaget. Tidak ada hiasan, dan tidak ada sandal. Hanya ada sepeda teman-temanku saja.


"Apakah Mama dan Papa berbohong? Mereka telah mengacaukan pesataku... Aku juga tidak diberi hadiah apa-apa. Hari ini buruk. Buruk. Mungkin hadiahku hanya sekedar menang lomba. Tapi itu, kan, bukan hadiah!" gerutuku dalam hati. Tiba-tiba Uchi datang dari belakang. "Uchi? Kenapa kamu memakai baju biasa? Dan mana pestanya?", tanyaku heran. "Ayolah, ikut aku dulu...", Uchi menggandengku sampai di kebun belakang. Disana, aku melihat balon, hiasan, kue, serta semua perlengkapan pesta. Semua teman-teman juga memakai baju yang sama dan bertuliskan HAPPY BIRTHDAY, GHIANI!!!


Aku sangat kaget. Apakah ini mimpi? Aku menepuk pipiku. Dan ternyata ini bukan mimpi. Ini sungguhan. Sejam saat aku les mereka sudah mempersiapkan segalanya. Dan ternyata... ini adalah sebuah kejutan. Kejutan yang dibuat Mama, Papa, dan teman-temanku. Kulihat diatas meja hadiah bertumpuk-tumpuk. Ini sebuah hari yang baik. Ini ulang tahun paling mengesankan yang pernah aku rasakan.